Tangan Ki Pantun lincah mengorek sisi batang bambu. Tiap kali merasa cukup mengorek, ia pukulkan bambu itu pada batang kayu di depannya dan langsung ditempelkannya ke telinga. Jika suara kurang pas, bambu kembali dikorek.

Ikat kepala biru terpasang rapi, serat bambu terkadang menempel di baju hitamnya. Kulit dan bilah bambu terserak di depan saung miliknya di Kampung Cikapek, Desa Lebak Parahiang, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Ia tengah menyelesaikan angklung buhun pesanan dari kota.

Angklung buhun atau angklung kuno merupakan jenis angklung dari Baduy. Ukuran angklung 50-150 cm. Satu set angklung ini berisi 9 buah angklung dan tiga beduk.
Sembilan buah angklung itu bernama Indung, Ringkung, Dongdong, Gunjung, Indung Leutik, Engklok, Trolok, dan dua buah Roer.
Tangan dan telinga Ki Pantun sudah akrab dengan setiap lekuk batang bambu angklung buhun. Sejak kecil, di Kampung Cikertawana, Baduy Dalam, ia belajar membuat angklung dari orang tuanya.

“Pokokna mah ti leutik keneh tos belajar. Jadi nanya ka urang carana kumaha kitu, nyieun suarana kumaha, nadana kumaha. Nadana lamun leutik kiyeu, dikitu nambah ngagedean. Lamun seperti kieyu tah gede kan? Iyeu dipotong, tah. (Pokoknya saya belajar dari kecil. Jadi yang belajar itu bertanya cara membuatnya bagaimana? Suaranya bagaimana? Kalau kecil suaranya begini, kalau besar begini),” jelasnya.

Angklung buhun punya makna magis di Baduy. Bunyi angklung ini diyakini akan membuat panen berlimpah. Dewi Sri, dewi kesuburan, akan datang dan membantu merawat tanaman padi gogo ketika mendengar alunan aklung.

Alkisah, Dewi Sri hendak kabur dari orang tuanya. Tapi, ketika kabur, angklung dimainkan. Ia pun pulang lagi karena kaserep (suka). “Jadi angklung buhun iyeu ku matak kudu riwayat di Baduy iyeu, jadi karesep Dewi Sri (Jadi angklung buhun di riwayat Baduy itu, ceritanya karena disukai Dewi Sri),” cerita Ki Pantun.
Angklung ini tak sembarang waktu boleh dimainkan. Hanya saat-saat tertentu, di antaranya ketika penanaman padi adat, yakni saat nyacar serang (ngaseuk serang).

Angklung buhun yang tengah dibuatnya itu untuk memenuhi pesanan, bukan termasuk angklung buhun untuk keperluan adat. Memang ada orang kota yang memesannya. Keperluannya hanya untuk dimainkan.
Bahan, bunyi, dan cara membuatnya sama dengan angklung buhun untuk keperluan adat. Namun angklung ini harus melalui prosesi panjang yang dimulai sejak mencabut bambu dari tanah. Bacaan ini untuk mendapat restu dari alam, mulai akar, buku, mata bambu, hingga daunnya.

"Pas nyokot awi ti leuweung eta cacahana dipenta, di leuweung samemeh nuar kitu, samemeh motong kitu, henteu sembarangan eta, aya cacahanana (Ketika mengambil bambu di hutan, sebelum kita mau potong. Kita tidak bisa sembarangan, ada cacahannya),” tutur Ki Pantun.

Setelah jadi, angklung juga tak boleh langsung dimainkan. Jangan sembarangan, kata dia, angklung harus dibakari kemenyan dulu supaya siluman-siluman itu senang sehingga suara angklung tidak hilang.


Sumber: detikX.com