Instrumen musik pemujaan untuk Dewi Sri dan pembangkit semangat perang dari abad 12. Telah diakui sebagai warisan dunia. Tiap angklung unik dan menghasilkan nada yang berbeda.

Angklung adalah alat musik tradisional yang banyak berkembang di daratan Sunda (Jawa Barat). Alat musik yang terbuat dari bambu ini dimainkan dengan cara digetarkan atau digoyangkan. Suara dari Angklung yang di hasilkan dari benturan tabung bamboo tersebut sehingga menghasilkan bunyi khas yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, sehingga membuat alat musik ini sangat terkenal di Indonesia.
Konon, kata Angklung berasal dari bahasa Sunda yaitu “angkleung-angkleungan” yang menggambarkan gerak tubuh para pemain Angklung yang berayun seiring dengan iramanya. Ada juga yang mengatakan kata Angklung berasal dari bunyi “klung” yang keluar dari Angklung tersebut.

Pemujaan Dewi Sri
Angklung telah ada sebelum jaman Hindu ada di Indonesia. Pada jaman kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16), Angklung menjadi alat musik yang selalu di gunakan di berbagai acara atau perayaan, khususnya acara adat dalam bercocok tanam.

Pada masa tersebut, Angklung di mainkan sebagai pemujaan kepada “Dewi Sri” yaitu Dewi Padi atau Dewi Kesuburan agar di berikan berkah pada tanaman yang di tanamnya dan juga kesejahteraan dalam kehidupan. Tidak hanya itu, pada masa kerajaan Sunda, Angklung juga di jadikan sebagai pemicu semangat berperang.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna kuning keputihan. Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar. Tiap ukuran bambu tersebut memiliki tinggi nada berbeda.

Kulurung, Centak, Tengkep
Cara memainkan alat musik ini pada dasarnya sangat mudah, yaitu salah satu tangan memegang kerangka Angklung dan satunya menggoyangkan bagian bawah Angklung tersebut hingga menghasilkan suara. Ada tiga teknik dasar dalam memainkannya, yakni Kulurung (getar), Centak (disentak), dan Tengkep (menggetarkan salah satu tabung, sementara tabung bagian lainnya ditahan sehingga tidak ikut bergetar).
Untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor.

Selain nadanya berbeda-beda, jenisnya juga bermacam-macam, diantaranya Angklung Kanekes, Angklung Reyog, Dogdog Lojor, Angklung Padaeng, Angklung Sarinande, Angklung Gubrag, dan Angklung Badeng.
Dalam perkembangannya, kesenian Angklung tidak hanya di jadikan sebagai alat musik pada perayaan bercocok tanam saja, namun juga sebagai kesenian musik seperti orchestra. Alat musik Angklung ini juga telah menjadi salah satu alat musik tradisional kebanggaan masyarakat di Jawa Barat. Tidak hanya itu, Kesenian Angklung ini juga telah di akui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia, bahkan dikolaborasikan dengan berbagai instrumen tradisional dan budaya dari daerah dan negara lain.