Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat sunda di pulau jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu,dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu ) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susuan nada 2,3,sampai 4 nada dalam setiap ukuran,baik besar maupun kecil. 
              Dictionary of the sunda language karya Jonathan Riggy, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia,menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ,dan diikat bersama dalam satu bingkai,digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung sendiri sudah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010 yang lalu.
              Pada tahun 2008 terdapat 11.000 pemain angklung di Jakara dan 5.000 pemain angklung di Washington DC dan memecahkan rekor terbaru saat itu. Pada Konferensi Asia Afrika (KAA) April 2015 sebanyak 20.704 orang berkumpul bersama-sama di stadium Siliwangi Bandung untuk memainkan lagu ''I Will Survive" dan ''We Are The World'' dengan menggunakan alat musik angklung 4.117 diantaranya adalah anak kebutuhan khusus. Sejarah angklung telah berubah dari tadinya hanya diperdengarkan di daerah Sunda saja sekarang seluruh dunia sudah mengenal musik angklung.
              Tidak ada petunjuk akan sejak kapan angklung digunakan tetapi catatan mengenai angklung yang baru muncul pada masa kerajaan sunda ( abad ke-12 sampai abad ke-16 ). Asal-usul terciptanya musik bambu seperti angklung berdasar pada pandangan hidup masyrakat sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi sebgai mkanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercyaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang dewi padi pemberi kehidupan. Masyrakat Baduy yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat sunda asli,menerapkan angklung sebagai bagian ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung Gubrak di Jasinga Bogor,adalah salah satu satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat dewi si turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Jenis bambu yang digunakan pada saat itu adalah bambu hitam ( awi wulung ) dan bambu ater ( awi temen ). 
                Diantara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat sunda adalah sebagai alat penyemangat dalam pertempuran. fungi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus sampai masa penjajahan,itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.
                 Selanjutnya,lagu-lagu persembahan terhada Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, dan kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Pada penyajian angklung yang berkaitan dengan upacara padi,kesenian ini menjadi sebuah pertujukan yang sifatnya arak-arak.
                 Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. pada tahun1908,tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai dengan penyerahan angklung, lalu pemainan musik bambu ini pun sempat menyebar disana. Bahkan sejak 1966 Udjo Ngalagena,tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan lara-laras pelog, salendro, dan madenda, mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak oarang dari berbagai komunitas.
                 Udjo Ngalagena adalah seniman angklung asal Jawa Barat, Indonesia dan juga pendiri Saung Angklung Udjo. Beliau lahir pada tanggal 5 Maret 1929 dan meninggal di Bandung pada tanggal 3 Mei 2001 pada umur 72 tahun. Ia merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi pada usia lima tahun udjo kecil sudah akrab dengan angklung berlaras pelog dan salendro yang kerap dimainkan di lingkungannya dalam acara mengangkut padi,arak-arak khitanan, peresmian jembatan, dan acara-acara yang melibatkan keamaian masa lainnya.
                  Selain belajar angklung ia juga mempelajari pencak silat, gamelan dan lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari lagu-lagu bernada diantonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda. Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika ia mulai terjun sebgai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam kemampuannya ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya . Teknik pemainan kecapi dan lagu-lagu daerah ia belajar dari Mang Koko. Sedangkan belajar Gamelan ia pelajari dari Raden Machjar Angga Koeseomadinata. Dan untuk angklung do-re-mi ( diatonis ) ia dapat bimbinga dari Pak Daeng Soetigna ( ia adalah pencipta angklung bernada Diatonis). 
                 Pengetahuan-pengetahuan tesebut kemudian diolahnya dalam bentuk paket pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian angklung di sanggarnya ( Saung Angklung Udjo ). Kehadiran sanggar ini merupakan suatu sarana bagi Udjo untuk dapatn menjurahkan jiwa kependidikan yang dimilikinya melalui seni angklung,sekaligus sebagai sarana penyaluran kewirausahaannya denga menjual pertunjukan maupun alat musik bambu.
                 Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk menikmati sajian petrunjukan kesenian tradisional berkualitas tinggi khas Jawa Barat, tak jarang mereka ikut larut dalam permainan angklung dan tarian anak-anak belia. dari mulai wayang, tarian dan angklung mampu membuat takjub para pengunjung untuk datang berkali-kali ke Saung Angklung Udjo. Jiwa entertainer Udjo mampu menyatukan antara kesenian, anak-anak dan lingkungan menjadi sebuah sajian pertunjukan yang harmonis di depan para pengunjungnya.
                  Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para putra-putrinya. Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang meneruskan SAU di bawah bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan Udjo pun sudah jarang untuk memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali apabila sedang sehat Udjo mucul dalam pertunjukan yang dipimpin oleh para putranya sekedar mengucapkan salam kepada para pengunjung dalam berbagai bahasa ( Inggris, Belanda, Perancis, Jerman serta negara lainnya ).
                 Sepeninggal Udjo Ngalagena pada tanggal 3 Mei 2001 SAU mulai diteruskan oleh anak-anaknya. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para touris dalam maupun luar negeri, anak-anak masih riang gembira bemain angklung. Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir di setiap akhir pertunjukan.
'' what You Are, What Job Have Choosen, Do It well, Do It whit Love, Whitout Love, You Are Dead Before You Die '' Udjo Ngalagena ( 05 Maret 1929 - 03 Mei 2001 ).  
                Alat musik angklung yang berkembang menghasilkan beberapa jenis angklung baru yang membuat alat musik angklung semakin beragam saat ini. Berikut ini adalah jenis-jenis alat musik angklung :
1. Angklung kanekes
      Angklung ini berasal dari Baduy. Permainan angklung kanekes sering ditampilkan pada saat upacara menanam padi. karena adanya ritual tertentu saat pembuatan angklung kanekes,maka yang dapat membuat angklung kanekes hanyalah orang dari suku Baduy saja.
2. Angklung Reog
      Angklung yang memiliki ciri khas suara yang keras ini dinamakan untuk mengiringi tarian reg ponorogo,sebuah tarian khas Jawa Timur.
3. Angklung Banyuwangi
       Nada angklung yang disebut Caruk di Banyuwangi ini menghasilkan nada-nada khas kebudayaan Banyuwangi.
4. Angklung Bali
       Sedangkan di Bali,angklungnya menyerupai calung dan di beri nama Rindik.
5. Angklung Dogdog Lojor
       Angklung ini diberi nama Dogdg Lojor karena merupakan salah satu alat musik yang di mainkan dalam kesenian Dogdog Lojor. Dogdog Lojor sendiri merupakan sebuah kesenian yang dilakukan oleh masyarakat Banten kidul untuk menghormati padi.
6. Angklung Gubrak
       Angklung Gubrak berasal dari Bogor,dimainkan untuk mengiringi acara panen padi,angklung ini termasuk angklung yang sudah tua.
7. Angklung Badeng
       Angklung ini berasal dari darah Garut. Dulu biasa digunakan untuk mengiringi dakwah islam.
8. Angklung Buncis 
       Angklung Buncis bisa di gunakan untuk kesenian hiburan,berkembang di daerah Baros,kabupaten Bandung.
9. Angklung Badud
       Angklung Badud digunakan untuk mengarak penanten sunat,berasal dari daerah Tasikmalaya.
10. Angklung Bungko 
         Angklung Buko digunakan untuk mengiringi tarian Bungko,tarian yang menggambarkan kemenangan atas peperangan berasal dari Cirebon
11. Angklung Padaeng 
         Jika angklung pada umumnya memainkan nada pentatonik,angklung padaeng ini mampu mampu memainkan nada diatonik. Angklung ini dikenalkan oleh Daeng Soetigna. Angklung padaeng yang memakai nada bulat saja disebut angklung Sarinade.
12. Angklung Toel
         Angklung ini diciptakan oleh Yayan Udjo. Angklung ini bisa dimainkan ole satu pemain saja.
13. Angklung Sir Murni
         Angklung ini di gagas oleh Eko Mursito Budi untuk robot angklung.
     Dengan munculnya beberapa jenis alat musik angklung seperti di atas Menurut Departemen Kebudayaan tahun 1968 ''angklung merupakan alat musik pendidika'' dengan di tetapkannya angklung sebagai alat musik pendidikan,maka sekarang telah banyak sekolah-sekolah yang menyediakan alat musik angklung. Angklung yang ditetapkan tersebut terdiri dari angklung melodi,akompanyemen,dan ko-akompanyemen. Angklung melodi merupakan angklung yang berfungsi sebagai melodi. Angklung akompanyemen berfungsi sebagai pengiring,dan ko-akompanyemen sebagai pelengkap atau ornamen pengiring. Oleh karena iu disetiap sekolah sebaiknya di sediakan angklung sebagai media pembelajaran musik. Disisi lain kita merasa bangga dengan perkembangan dari alat musik angklung iu sendiri karena sudah masuk ke sekolah-sekolah sehingga dapat di pelajari oleh generasi penerus untuk di kembangkan.