Angklung Bungko, Kesenian Daerah Cirebon Khas Dari Desa Bungko
Bungko merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencarian sebagai nelayan. Dari desa itulah "angklung Bungko" lahir. Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini adalah angklung. Bentuknya hampir sama dengan angklungsunda masa kini.
Angklung bungko awalnya merupakan musik ritmis dengan menggunakan media kentongan (kohkol) yang terbuat dari potongan ruas bambu. Angklung Bungko terdiri dari 3 buah yang dipercaya sudah berumur 600 tahun, sudah tidak bernada lagi jadi tidak dipakai, hanya dalam setiap pagelaran harus ada. Sedangkan waditra lainnya terdiri dari 3 buah ketuk, sebuah gong besar, dan sebuah kendang besar.
Angklung bungko diperkirakan lahir menjelang abad ke-17 setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Diduga kesenian ini lahir secara kolektif. Tercipta atas dasar luapan emosi kegembiraan setelah mereka memenangkan perang (tawuran) melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan). "Tawuran" sebagai akibat perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip ajaran Islam yang diajarkan Sunan Gunung Jati.
Karena itu gerakan-gerakan tari angklung bungko lebih merupakan dari penggambaran peperangan saat mereka mematahkan seorang Pangeran Pekik. Semua penarinya lelaki menggunakan ikat kepala batik, baju putih, keris, kain batik, serta soder.
Tariannya sangat halus dan statis memberikan kesan tenang tapi raut muka menunjukkan ketegangan, sedangkan tabuhannya kadang bergemuruh. Semuanya memberi kesan orang yang bersiap berangkat ke medan perang.
Jenis Tarian Angklung Bungko
Pertama : Panji, yang menggambarkan sikap berdzikir.
Kedua : Benteleye, menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan.
Ketiga : Bebek Ngoyor, menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Keempat : Ayam Alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran pemilih.
Atas gagasan Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, Angklung Bungko tetap diperhatikan dan dimanfaatkan untuk menyebarkan Agama Islam. Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan banyak jasa sesama hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan masyarakat bungko.
Tari Angklung Bungko dapat di sebut juga tari perang yang memiliki makna filosofi yang cukup dalam bagi masyarakat Bungko, sebagai gambaran totalitas kehidupan komunal yang demokratis.
Tari Angklung Bungko bisa kita lihat pada Upacara Adat Ngunjung, yaitu Upacara untuk berkunjung atau khaul kepada makam leluhur yang pada intinya adalah melakukan do'a bersama sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tua.
Tata Rias Busana
Tata rias busana para pelaku Angklung Bungko yang asli adalah sebagai berikut :
Penari : Celana sontog, kain batik, baju rompi, kaca mata hitam, dan ikat kepala
Pemusik : Celana sontog, kain batik, baju kombaran, dan ikat kepala
Tari Angklung Bungko dapat di sebut juga tari perang yang memiliki makna filosofi yang cukup dalam bagi masyarakat Bungko, sebagai gambaran totalitas kehidupan komunal yang demokratis.
Tari Angklung Bungko bisa kita lihat pada Upacara Adat Ngunjung, yaitu Upacara untuk berkunjung atau khaul kepada makam leluhur yang pada intinya adalah melakukan do'a bersama sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tua.
Tata Rias Busana
Tata rias busana para pelaku Angklung Bungko yang asli adalah sebagai berikut :
Penari : Celana sontog, kain batik, baju rompi, kaca mata hitam, dan ikat kepala
Pemusik : Celana sontog, kain batik, baju kombaran, dan ikat kepala
Sumber : http://www.hotelmurahcirebon.com/artikel/angklung-bungko-kesenian-daerah-cirebon-khas-dari-desa-bungko--114.php, Dede Wahidin, S.Sn, Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata, https://budaya-indonesia.org/Angklung-Bungko/
0 Komentar