Angklung, Keindahan Bersama dalam Keindonesiaan
Semangat gotong-royong untuk mengusahakan harmoni kebaikan-keindahan bersama dalam keragaman aspirasi-nada keindonesiaan menemukan simbolisasi dan pengucapannya yang sangat kuat dalam permainan alat musik angklung. Dalam angklung, setiap orang pada dasarnya memainkan satu nada (menjadi diri sendiri), tetapi dengan kesadaran penuh untuk memberi kesempatan berbunyi bagi nada lain. Dalam suatu ensamble di bawah kepemimpinan seorang dirigen, satuan-satuan ekspresi pribadi bisa dipertautkan menjadi harmoni kolektif. Singkat kata, permainan angklung dapat merefleksikan sekaligus membentuk kepribadian Indonesia.
Sejak kapan angklung menjadi alat musik yang dimainkan masyarakat Indonesia? Tidak ada catatan pasti. Dari mana asal-usul angklung, juga tidak ada jawaban pasti. Ada yang menyebut alat musik ini merupakan inovasi dari alat musik berbahan baku bambu di Filipina. Ada juga yang menyebut dari Bali. Ada pula yang meyakini bahwa alat itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari alat musik bambu yang semula tumbuh di kerajaan Sunda. Tetapi yang jelas, angklung awalnya dimainkan untuk nada pentatonis.
Adalah Daeng Sutigna, seorang guru kelahiran Garut, 13 Mei 1908, mengajar di HIS Kuningan, yang ingin membuat angklung bernada diatonis. Bahkan, ia sampai belajar membuat angklung kepada seorang pembuat angklung terkenal di Kuningan, Djaja, yang saat itu berusia 80 tahun. Daeng Soetigna pun dikenal sebagai inovator angklung sekaligus penemu angklung diatonis yang dimainkan banyak orang dan setiap orang hanya memainkan satu nada. Angklung seperti ini, menurutnya, memudahkan orang, terutama anak-anak, untuk mempelajari dan memainkannya.
Tetapi, ketika Daeng hendak membelajarkannya pada anak-anak, banyak yang menentangnya. “Alat musik tersebut masih dianggap sebagai alat musik para pengemis. Pendeknya, derajat angklung diatonis pada saat itu masih dianggap sebagai barang yang hina,” tutur putri Daeng Soetigna, Erna Ganasih Pirous. Namun, banyak anggota pandu suka memainkan alat musik ini. Dari sinilah kemudian angklung menjadi alat musik yang dikenal dan digemari anak-anak, dan kemudian diajarkan pula di berbagai sekolah. Angklung pun dimainkan pada acara Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 atas permintaan Presiden Soekarno.
Setelah itu, angklung semakin dikenal. Angklung Daeng Soetigna ini menarik minat orang dari berbagai negara. Mereka pun belajar angklung pada penerima Bintang Budaya Parama Dharma ini. Maulana (2007) menulis, mantan Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menyebut angklung sebagai alat diplomasi budaya yang ampuh. Kementerian Luar Negeri pernah mengirimkan seorang murid Daeng Soetigna, Udjo Ngalagena, untuk mengajar angklung di Kepulauan Solomon.
Udjo Ngalagena dan Obby A.R. adalah dua dari sekian banyak murid Daeng Soetigna yang mengembangkan angklung ini. Cita-cita Daeng, yang meninggal pada 8 April 1984, untuk mengembangkan dan memopulerkan angklung ke seluruh penjuru dunia diteruskan oleh Udjo yang lahir di Bandung pada 5 Maret 1929. Udjo memang seorang pembelajar kesenian yang luar biasa. Dia belajar berbagai kesenian Sunda langsung pada maestro kesenian daerah ini. Udjo belajar kecapi pada Mang Koko, berguru gamelan pada Rd. Machyar Angga Kusumahdinata, dan menekuni angklung pada Daeng Soetigna. Tidak mengherankan bila kemudian Daeng menunjuk Udjo sebagai asistennya dan mewakilinya untuk memimpin pertunjukan musik.
Udjo yang lulus SGA pada 1950 ini sangat mencintai angklung. Ia bukan hanya senang memainkannya, tetapi juga membuat alat musik tradisional itu. Sejak 1962, Udjo membuat angklung. Ia pun mendirikan Saung Angklung Udjo pada 1966, yang pembangunannya dilakukan secara bergotong-royong bersama masyarakat sekitar. Kecintaannya pada angklung, sebagaimana dilukiskan putranya, Taufik Hidayat Udjo, ia tunjukkan dalam bentuk “ketidakdisiplinan” waktu dalam mengikuti latihan angklung; dijadwalkan latihan pukul 9.00-11.00, Mang Udjo sudah tiba di tempat latihan pukul 7.00, dan latihan pun baru selesai pukul 14.00. “Seperti orang lagi jatuh cinta, sering lupa waktu,” tutur Taufik.
Udjo, yang jadi guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung ini, disarankan oleh dua tokoh angklung Jawa Barat, Daeng Soetigna dan Oejeng Soewargana, untuk melatih anak-anak di saung angklungnya di kawasan Padasuka, Bandung. Saran gurunya itu ia laksanakan dengan baik, bahkan terus terjaga hingga kini. Udjo berhasil menanamkan filosofi bermusik yang disarankan Daeng, yaitu Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Massal, yang kemudian ditambahi Udjo dengan Meriah. (Bersambung)
Sejak kapan angklung menjadi alat musik yang dimainkan masyarakat Indonesia? Tidak ada catatan pasti. Dari mana asal-usul angklung, juga tidak ada jawaban pasti. Ada yang menyebut alat musik ini merupakan inovasi dari alat musik berbahan baku bambu di Filipina. Ada juga yang menyebut dari Bali. Ada pula yang meyakini bahwa alat itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari alat musik bambu yang semula tumbuh di kerajaan Sunda. Tetapi yang jelas, angklung awalnya dimainkan untuk nada pentatonis.
Adalah Daeng Sutigna, seorang guru kelahiran Garut, 13 Mei 1908, mengajar di HIS Kuningan, yang ingin membuat angklung bernada diatonis. Bahkan, ia sampai belajar membuat angklung kepada seorang pembuat angklung terkenal di Kuningan, Djaja, yang saat itu berusia 80 tahun. Daeng Soetigna pun dikenal sebagai inovator angklung sekaligus penemu angklung diatonis yang dimainkan banyak orang dan setiap orang hanya memainkan satu nada. Angklung seperti ini, menurutnya, memudahkan orang, terutama anak-anak, untuk mempelajari dan memainkannya.
Tetapi, ketika Daeng hendak membelajarkannya pada anak-anak, banyak yang menentangnya. “Alat musik tersebut masih dianggap sebagai alat musik para pengemis. Pendeknya, derajat angklung diatonis pada saat itu masih dianggap sebagai barang yang hina,” tutur putri Daeng Soetigna, Erna Ganasih Pirous. Namun, banyak anggota pandu suka memainkan alat musik ini. Dari sinilah kemudian angklung menjadi alat musik yang dikenal dan digemari anak-anak, dan kemudian diajarkan pula di berbagai sekolah. Angklung pun dimainkan pada acara Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 atas permintaan Presiden Soekarno.
Setelah itu, angklung semakin dikenal. Angklung Daeng Soetigna ini menarik minat orang dari berbagai negara. Mereka pun belajar angklung pada penerima Bintang Budaya Parama Dharma ini. Maulana (2007) menulis, mantan Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menyebut angklung sebagai alat diplomasi budaya yang ampuh. Kementerian Luar Negeri pernah mengirimkan seorang murid Daeng Soetigna, Udjo Ngalagena, untuk mengajar angklung di Kepulauan Solomon.
Udjo Ngalagena dan Obby A.R. adalah dua dari sekian banyak murid Daeng Soetigna yang mengembangkan angklung ini. Cita-cita Daeng, yang meninggal pada 8 April 1984, untuk mengembangkan dan memopulerkan angklung ke seluruh penjuru dunia diteruskan oleh Udjo yang lahir di Bandung pada 5 Maret 1929. Udjo memang seorang pembelajar kesenian yang luar biasa. Dia belajar berbagai kesenian Sunda langsung pada maestro kesenian daerah ini. Udjo belajar kecapi pada Mang Koko, berguru gamelan pada Rd. Machyar Angga Kusumahdinata, dan menekuni angklung pada Daeng Soetigna. Tidak mengherankan bila kemudian Daeng menunjuk Udjo sebagai asistennya dan mewakilinya untuk memimpin pertunjukan musik.
Udjo yang lulus SGA pada 1950 ini sangat mencintai angklung. Ia bukan hanya senang memainkannya, tetapi juga membuat alat musik tradisional itu. Sejak 1962, Udjo membuat angklung. Ia pun mendirikan Saung Angklung Udjo pada 1966, yang pembangunannya dilakukan secara bergotong-royong bersama masyarakat sekitar. Kecintaannya pada angklung, sebagaimana dilukiskan putranya, Taufik Hidayat Udjo, ia tunjukkan dalam bentuk “ketidakdisiplinan” waktu dalam mengikuti latihan angklung; dijadwalkan latihan pukul 9.00-11.00, Mang Udjo sudah tiba di tempat latihan pukul 7.00, dan latihan pun baru selesai pukul 14.00. “Seperti orang lagi jatuh cinta, sering lupa waktu,” tutur Taufik.
Udjo, yang jadi guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung ini, disarankan oleh dua tokoh angklung Jawa Barat, Daeng Soetigna dan Oejeng Soewargana, untuk melatih anak-anak di saung angklungnya di kawasan Padasuka, Bandung. Saran gurunya itu ia laksanakan dengan baik, bahkan terus terjaga hingga kini. Udjo berhasil menanamkan filosofi bermusik yang disarankan Daeng, yaitu Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Massal, yang kemudian ditambahi Udjo dengan Meriah. (Bersambung)
Sumber: Yudi Latif, Mata Air Keteladanan
0 Komentar