Siapa yang tak kenal angklung. Alat musik khas Jawa Barat ini benar-benar telah memanfaatkan alam sebagai penghasil harmoni keindahan. Artinya, siapa sangka di tangan-tangan kreatif, batang-batang bambu itu bisa dikreasi menjadi alat musik yang telah mengangkat nama Jawa Barat ke tingkat dunia.

Dengan tokoh Mang Ujo, dengan Saung Ujo-nya telah menjadi sebuah sanggar pusat dipancarkannya sinar cemerlangnya angklung sebagai salah satu kekayaan budaya kita. Banyak orang asing (maksudnya luar negeri) yang datang menimba ilmu cara bermain angklung, bahkan cara membuat angklung. Pada suatu masa bahkan kita dibuat was-was ketika hampir ada klaim bahwa angklung bukanlah alat musik asli Indonesia.

Bisa Dicoret
“Pengakuan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terhadap kesenian angklung sebagai warisan dunia, suatu saat bisa dicabut. Pemerintah daerah dituntut melakukan upaya pendeskripsian dan pemetaan seni budaya tradisional yang akan diajukan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual maupun UNESCO. Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat memang mengatakan bahwa pengakuan angklung sebagai World Intangible Heritage memang mungkin dicabut. Menurut dia kekhawatirannya diakibatkan oleh kondisi di lapangan bahwa kesenian angklung mulai jarang dimainkan. (Pikiran Rakyat, Kamis, 27 Maret 2014
Kegelisahan tentang nasib angklung mestinya bukan hanya menjadi kegelisahan orang Jawa Barat saja, tetapi menjadi kegelisahan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita masih ingat ketika batik diklaim sebagai hasil kreasi budaya negara tetangga kita, kita semua meradang. Bukan karena setiap wilayah dengan ciri khas/kemenonjolan etnis memiliki batik, namun lebih disebabkan karena batik telah menjadi ikon Indonesia.

Sinyalemen Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa angklung mulai jarang dimainkan memang layak untuk disikapi secara positif. Sebagai budaya basis tradisional saat sekarang memang mendapat lawan tangguh produk musik / kesenian modern. Pagelaran yang bersifat pengerahan massa akan lebih banyak mendapat respon jika yang disajikan adalah kesenian modern, sebutlah misalnya pagelaran musik rock, boyband, dan sejenisnya. Kita bisa membayangkan ketika salah satu pihak (bisa perorangan, bisa organisasi) hendak menggelar musik angklung, maka akan terpikir (dengan pesimisme tinggi) bahwa pasti yang menonton akan sedikit. Jika berfikirnya untung rugi, maka pagelaran angklung memang tidak akan pernah dipilih.
Sekedar tawaran solusi bagi pemangku kebijakan yang bertanggung jawab dengan kelestarian budaya daerah sebagai kekayaan budaya nasional (bahkan internasional), harus ada semacam presure secara birokratis. Misalnya saja dari tingkat provinsi mewajibkan setiap kabupaten memiliki minimal 2 (dua) grup angklung terbaik. Jika saja tiap dinas di kabupaten memiliki grup angklung (atau mungkin merger beberapa dinas), maka dipastikan tiap kabupaten akan memiliki lebih dari dua grup angklung.

Selama ini kita mengenal istilah Jumat Bersih. Kegiatan yang sudah cukup membudaya di tiap daerah, alangkah lebih baik jika disambung dengan Jumat Nyunda, Jumat Ngahaleuang, atau apapun istilahnya, yang penting diisi dengan kegiatan bermain angklung. Jika di kalangan para pegawai sudah mulai terbentuk embrio budaya seperti tadi, maka melalui dinas pendidikan kabupaten bisa dilakukan instruksi penerapan muatan lokal kesenian angklung. Jika dinas pendidikan tidak merasa yakin dengan kewenangannya, maka bisa mengajukan usulan ke gubernur untuk dibuatkan peraturannya. Analoginya bisa dilihat pada gebrakan walikota Bandung untuk mengangkat iket ke permukaan, hingga dari “sebuah paksaan” akan menjadi sebuah tren perkembangan kecintaan terhadap budaya sendiri.
Sampai saat ini rasanya masyarakat kita masih sangat enggan untuk menerjemahkan kata-kata yang bernuansa himbauan diterjemahkan sebagai sesuatu yang wajib. Jika himbauan untuk melestarikan kesenian angklung tidak ditanggapi sebagai sebuah kewajiban, maka hendaknya pemerintah Provinsi Jawa Barat berani untuk mewajibkan. Dampaknya akan sangat bagus. Melalui kewenangan kepala dinas pendidikan, maka pemasyarakatan untuk mencintai dan menggunakan angklung akan dimulai sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Untuk tingkat sekolah dasar lebih ditekankan kepada cara main, sedangkan untuk mereka yang lebih dewasa dapat pula dirintis usaha untuk membuat produksi angklung itu sendiri.
Rasanya memang kita harus malu jika dengan penuh semangat mencatatkan diri ke UNESCO bahwa angklung sebagai warisan bidaya dunia, tetapi kita tidak pernah memainkannya. Bandingkan batik, pantas menjadi warisan dunia asli Indonesia, karena memang setiap hari orang memakainya. Toko batik, butik, dan sejenisnya menyajikan batik. Kondisi seperti inilah yang harusnya dialami angklung.

Lebih baik menarik diri daripada dicoret
Jika angklung akan dicoret dari maka akan tercatat rasa malu dalam sejarah kebudayaan kita. Akan lebih terhormat jika kita menarik dari dari pengakuan UNESCO sekarang, daripada kedahuluan dikenai sanksi.

Selain solusi yang ditawarkan di atas, masih terdapat solusi lain. Undang seluruh kepala daerah, dan seluruh seniman daerah. Adakan saresehan tentang pelestarian angklung. Pemerintah Jawa Barat harus berani menantang pada kepala daerah dengan pertanyaan
1. Apakah kita mau jika pengakuan angklung oleh UNESCO dibatalkan?
2. Jika siap menanggung malu, ya baiklah, saresahan sampai di sini saja. Setuju?
3. Jika tidak mau menanggung malu, maka kembangkan angklung di daerah-daerah. Siap?
4. Alokasikan PAD yang diperoleh untuk pengembangan kesenian. Siap?
5. Bangun gedung kesenian, dan hidupkan gedung kesenian yang sudah ada. Siap?
6. Pemerintah Jawa Barat juga siap membantu finasial untuk mengembangkan angklung kok! Jadi, dari APBD siapkan, dari kami pemerintah provinsi siap menambah. Maka angklung kita akan jaya. Setuju?
Gelar 1000 Angklung SMA Negeri 1 Majalengka (Buatan Sendiri)
Upaya melestarikan angklung di wilayah sendiri.

Pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 (hari Sumpah Pemuda) , 1000 (seribu) siswa SMAN 1 Majalengka Jawa Barat. telah melakukan gelaran musik angklung dengan nama Gelar 1000 Angklung dan Kaulinan Urang Lembur. Barangkali gelar 1000 angklung saat ini bukanlah sesuatu yang sangat prestisius. Termasuk pada hari Sabtu, 26 Oktober 2013 (dua hari sebelum gelar angklung di SMAN 1 Majalengka) Ikatan Dokter Indonesia di Bandung juga telah melakukan gelaran yang sama.
Pagelaran angklung yang dilakukan masyarakat / lembaga / komunitas umumnya “hanya” memainkan angklung yang sudah ada. Sedangkan di SMAN1 Majalengka memiliki keunikan tersendiri, sebab angklung yang dimainkan adalah buatan para siswa sendiri, bukan buatan orang lain (atau membeli). Keunikan itu sebenarnya bukan tanpa alasan, sebab ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Dalam kurikulum 2013 (SMAN1 Majalengka termasuk sekolah pilot proyek implementasi kurikulum 2013) terdapat mata pelajaran prakarya. Terkait dengan keberadaan guru senibudaya yang mumpuni dalam urusan perangklungan maka diputuskanlah dengan SK kepala sekolah bahwa mata pelajaran prakarya mengambil type kerajinan. Nah kerajinan angklung inilah yang dipilih untuk konsumsi siswa kelas X. Bapak Dudi Mulyadi,S.S inilah guru seni budaya yang dimaksud di atas. Memang mata pelajaran prakarya untuk kelas X, akan tetapi dengan adanya program Gelar 1000 Angklung, maka seluruh siswa kelas XI dan XII yang menggunakan KTSP dimobilisir oleh Pak Dudi ini. Hasilnya, seluruh siswa saat itu (1046 siswa) telah berpengalaman membuat masing-masing 1 (satu) buah angklung.

Bukti nyata telah dilakukan di Majalengka. Gelar 1000 Angklung ini mendapat dukungan penuh dari Pemda Majalengka. Acara dihadiri dan dibuka oleh bupati Majalengka, H. Sutrisno, S. M Diliput oleh Par-TV Sumedang dan Global TV.
Pada saat kunjungan SBY dan Mendikbud M.Nuh9 Februari 2014, para siswa SMAN 1 Majalengka diminta untuk menyambut di alun-alun Majalengka dengan permainan angklung.

Sebagai sebuah embrio pelestarian angklung, rasanya langkah ini patut juga untuk dicontoh. Jika tidak ada SDM, banyak solusi bisa ditempuh. Ada Saung Ujo di Bandung sebagai pusatnya belajar angklung dan seluk beluknya. Tinggal ada kemauan atau tidak dari pemerintah daerahnya. Atau mau berdiskusi dengan Pak Dudi Mulyadi, guru senibudaya pakar angklung di SMAN 1 Majalengka? Boleh juga.

0 Komentar